Minggu, 27 Maret 2011

KRIMINALITAS ANAK



Ironis, dalam satu minggu Selama bulan Agustus kemarin telah terjadi dua pencurian yang pelakunya adalah anak baru gede (ABG). Yaitu pada hari senin, 24 Agustus 2009 pukul 10.30 WIB, dua ABG tertangkap satpam mencuri helm di parkiran RSBT. Menurut pelaku, ini merupakan aksi yang kedua kalinya ditempat yang sama, dimana aksi yang pertama berhasil dan helm tersebut dijual dengan harga Rp. 50 ribu. Pelaku mengaku mencuri karena butuh uang jajan. Kemudian pada Kamis, 27 Agustus 2009 pukul 13.30 WIB, remaja putus sekolah tertangkap basah mengambil makanan ringan, sebungkus rokok dan uang belasan ribu dari dari sebuah warung di kelurahan Pintu Air Pangkalpinang. Pemeriksaan kedua kasus di atas harus mengacu pada UU Perlindungan dan UU Peradilan anak. Apabila kemudian di putus hakim terbukti bersalah, maka pendekatan pendidikanlah diperlukan dalam pembinaan selama menjalani hukumannya. Oleh karena itu keberadaan LAPAS anak menjadi kebutuhan yang mendesak di propinsi ini.


Dark Number


Dua kejadian di atas, hanyalah sebagian saja yang kebetulan terekspos oleh media massa. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG, baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda. Dalam ilmu kriminologi dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik kriminal kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal karena beberapa hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah diselesaikan secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW saja, mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa hal tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak ketahuan/tertangkap.

Faktor Penyebab


Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.

Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.

Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri.

Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.

Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba.

Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya

Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.

Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya. Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya ”geng-geng” yang nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah. Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif.

Kasus Bullying pada anak menimbulkan kenakalan remaja



“Ibu...guruku bilang aku pencuri, jadi setiap apapun yang dengan ikhlas kuberikan padanya, dia bilang hasil curian,” kata Ninda siswa SD kepada ibunya. Tragis memang, sebagai seorang pendidik seharusnya guru tersebut bisa lebih bijaksana dalam menyikapi masalah yang dihadapi anak-anak didiknya, bukan malah menjust atau memvonis mereka melakukan suatu perbuatan yang buruk, mempermalukan siswa di depan teman-temannya. Tentu saja ini sangat membuat hati Ninda dan juga orang tuanya terluka. Betapa tidak, harapan orangtua Ninda, adalah agar guru dapat mengarahkan, membimbing, serta mendidik anaknya dengan baik, ikhlas tanpa pamrih, bukannya malah memojokkan atau bahkan mempermalukan anaknya di depan teman-temannya yang lain.

Ini bermula ketika orang tua(Ibunya) Sisca, teman akrab Ninda datang ke rumah Ninda menemui orangtua Ninda memberitahukan bahwa Sisca anaknya telah di beri Ninda uang sebesar Rp. 50 ribu. Tentu saja ibunya Sisca kaget kenapa Ninda memberi anaknya uang sebesar itu untuk ukuran SD di kota kecil, tentulah nilainya sangat besar. Ibunya Sisca mendapat informasi dari anaknya yang juga disampaikan kepada wali kelas Ninda dan Sisca. Jadi atas saran wali kelasnya tersebut, maka ibunya sisca mendatangi orangtua Ninda. Menceritakan dengan detil kebiasaan Ninda yang suka memberi teman-temannya uang. Guru atau wali kelasnya memiliki prasangka bahwa Ninda telah mencuri uang orangtuanya. Makanya ibunya Sisca mengembalikan uang tersebut dan memohon maaf.

Orangtuanya Ninda kaget sekali mendengar informasi yang disampaikan oleh Ibunya Sisca dan tuduhan guru tersebut terhadap anaknya. Awalnya sempat emosi, namun setelah beberapa hari, dengan bijak akhirnya ibunya Ninda menanyakan langsung berbicara dari hati ke hati kepada Ninda tentang kebiasaannya tersebut. Ibunya juga sekaligus memberi pandangan kepada Ninda agar tidak bersikap boros atau berlebih-lebihan dalam mempergunakan uang, karena itu juga dilarang agama. Apalagi Ninda lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, bukan anak orang kaya yang mesti pamer kekayaan. Akhirnya dengan linangan air mata, Ninda meminta maaf dan menceritakan alasan-alasannya kenapa Ia suka memberi teman-temannya uang. Dia kasihan melihat teman-temannya yang tidak bisa jajan seperti yang lainnya di kantin sekolah. Dia juga kasihan ketika teman-temannya tidak bisa membeli sesuatu yang mereka inginkan. Ninda mengatakan itu murni uang tabungannya yang tidak disetorkan ke wali kelas untuk ditabung. Ketika Ninda diberi uang untuk ditabung, sebagian disishkan untuk diberikan kepada teman-temannya, katanya ia ingin berbagi. Akhirnya Ninda dinasehati ibunya agar tidak berlebih-lebihan memberi uang pada teman-temannya. ada saat jika mau berbagi lebih dari itu ketika Ninda sudah bekerja.

Sejak kejadian itu guru atau wali kelasnya selalu memandang Ninda dengan pandangan curiga dan selalu berburuk sangka. Apalagi ketika Ninda memberi oleh-oleh untuk ibu gurunya tersebut waktu Ninda pulang berlibur dari rumah Neneknya. Coba, apa yang dikatakan gurunya, sungguh tuduhan yang sangat buruk dan menyakitkan, “ Ini hasil curian ya Ninda, Ibu tidak mau menerima barang hasil curian.” Ninda coba menjelaskan itu oleh-oleh yang ia bawa ketika berlibur di rumah neneknya, dengan linangan air mata. Itu juga diceritakan Ninda pada ibunya, agar ibunya menjelaskan kembali pada gurunya bahwa oleh-oleh itu bukan hasil curian. Pemberian itu hanya karena Ninda sayang sama ibu gurunya, walau ia pernah disakiti tapi Ninda tidak dendam.

Melihat kejadian seperti itu seharusnya sebagai seorang guru kita bisa lebih memahami permasalahan yang dihadapi anak didik. Jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan yang dilakukan siswa, harusnya berbicara dari hati kehati, menanyakan permasalahan yang sesungguhnya, kenapa anak didiknya bisa berbuat seperti itu. Jangan sampai sikap kita atau tindakan kita membuat anak didik terluka, trauma menahan rasa malu, karena merasa tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan gurunya maupun oranglain.

Seharusnya seorang guru tidak hanya melaksanakan kewajibannya semata-mata mengajar, tapi juga ia harus bisa mendidik siswanya dengan hati. Berkomunikasi yang baik dengan siswa, karena guru adalah panutan, dia tempat siswa memperoleh ilmu yang berguna bagi dirinya dan bangsanya. Guru harus bersikap ramah kepada siswanya, apalagi siswa SD yang masih perlu mendapat bimbingan yang banyak. Jadi sebagai guru haruslah memiliki kesabaran ekstra ketika menghadapi anak didiknya. Komunikasi sekali lagi komunikasi, ingat siswa itu titipan orangtuanya, juga titipan Allah agar guru dapat mendidiknya dengan baik. Guru juga akan dimintai pertanggungjawaban dari apa-apa yang telah dilakukannya. Belajarlah kepada para Pramugari, walau mereka lelah, tapi mereka tetap tersenyum kepada para penumpang. Jadi benar apa yang ditulis dalam salah satu media, bahwa “guru tidak seramah pramugari.” Wallahu A'lam.

Belajarlah pada apa yang telah dicontohkan manusia mulia, Rasulullah, Saw, betapa beliau sangat mencintai anak-anak. Kenapa tidak, karena anak kita juga dididik oleh guru yang lain, bagaimana sekiranya itu dialami oleh anak kita (guru) sendiri, tentu kita juga akan terluka. Itu jika kita para guru masih memiliki hati. Tapi kita yakin masih banyak guru-guru teladan di dunia ini yang mengajar dengan hati, mencintai anak didiknya seperti anak sendiri (seperti ibu Muslimah), karena guru tersebut menyadari tanggungjawab moralnya ke orangtua siswa dan atasannya (kepala Sekolah) yang utama pertanggungjawaban kepada Allah swt. Jadi sebagai seorang guru, jangan sampai menyakiti atau mendzolimi anak didik tersebut baik secara fisik maupun batin.


(Juni 2009, keprihatinan terhadap guru yang suka melakukan perbuatan bullying kepada anak didiknya)

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA



Dalam kehidupan para remaja sering kali diselingi hal hal yang negative dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitar baik lingkungan dengan teman temannya di sekolah maupun lingkungan pada saat dia di rumah. Hal hal tersebut dapat berbentuk positif hingga negative yang serng kita sebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja itu sendiri merupakan perbuatan pelanggaran norma-norma baik norma hukum maupun norma sosial. Sedangkan Pengertian kenakalan remaja Menurut Paul Moedikdo,SH adalah :
  1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.
  2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
  3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.
Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah
kepada kenakalan remaja :
  1. Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi.
  2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di sekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing.
  3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi.
  4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal.
  5. Anak-anak yang suka berbohong.
  6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.
  7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.
  8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian.

Dengan sedikit pengertian kenalan remaja diatas membuat kita akan lebih mengerti akan sikap dan perilaku remaja kita apakah baik baik saja ataukah sudah mengarah pada suatu kenakalan remaja.

HAL – HAL YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA

  1. PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN
    Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya.Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda: “Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama”. Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya. Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.
    Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.
    Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum. 
  2. PENDIDIKAN
    Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang. Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas, biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.
  3. PENGGUNAAN WAKTU LUANG
    Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya.Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri, sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus. Tersesat. Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.
    Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu, dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke taman ria atau mal, dan lain sebagainya.
  4. UANG SAKU
    Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.Ajarkan pula anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan kerja dan semangat. Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:
    1. Anak menjadi boros
    2. Anak tidak menghargai uang, dan
    3. Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.
  5. PERILAKU SEKSUAL
    Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat. Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak. Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan. Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.
    Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja. Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul. Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.