Minggu, 27 Maret 2011

KRIMINALITAS ANAK



Ironis, dalam satu minggu Selama bulan Agustus kemarin telah terjadi dua pencurian yang pelakunya adalah anak baru gede (ABG). Yaitu pada hari senin, 24 Agustus 2009 pukul 10.30 WIB, dua ABG tertangkap satpam mencuri helm di parkiran RSBT. Menurut pelaku, ini merupakan aksi yang kedua kalinya ditempat yang sama, dimana aksi yang pertama berhasil dan helm tersebut dijual dengan harga Rp. 50 ribu. Pelaku mengaku mencuri karena butuh uang jajan. Kemudian pada Kamis, 27 Agustus 2009 pukul 13.30 WIB, remaja putus sekolah tertangkap basah mengambil makanan ringan, sebungkus rokok dan uang belasan ribu dari dari sebuah warung di kelurahan Pintu Air Pangkalpinang. Pemeriksaan kedua kasus di atas harus mengacu pada UU Perlindungan dan UU Peradilan anak. Apabila kemudian di putus hakim terbukti bersalah, maka pendekatan pendidikanlah diperlukan dalam pembinaan selama menjalani hukumannya. Oleh karena itu keberadaan LAPAS anak menjadi kebutuhan yang mendesak di propinsi ini.


Dark Number


Dua kejadian di atas, hanyalah sebagian saja yang kebetulan terekspos oleh media massa. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG, baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda. Dalam ilmu kriminologi dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik kriminal kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal karena beberapa hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah diselesaikan secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW saja, mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa hal tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak ketahuan/tertangkap.

Faktor Penyebab


Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.

Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.

Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri.

Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.

Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba.

Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya

Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.

Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya. Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya ”geng-geng” yang nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah. Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif.

Kasus Bullying pada anak menimbulkan kenakalan remaja



“Ibu...guruku bilang aku pencuri, jadi setiap apapun yang dengan ikhlas kuberikan padanya, dia bilang hasil curian,” kata Ninda siswa SD kepada ibunya. Tragis memang, sebagai seorang pendidik seharusnya guru tersebut bisa lebih bijaksana dalam menyikapi masalah yang dihadapi anak-anak didiknya, bukan malah menjust atau memvonis mereka melakukan suatu perbuatan yang buruk, mempermalukan siswa di depan teman-temannya. Tentu saja ini sangat membuat hati Ninda dan juga orang tuanya terluka. Betapa tidak, harapan orangtua Ninda, adalah agar guru dapat mengarahkan, membimbing, serta mendidik anaknya dengan baik, ikhlas tanpa pamrih, bukannya malah memojokkan atau bahkan mempermalukan anaknya di depan teman-temannya yang lain.

Ini bermula ketika orang tua(Ibunya) Sisca, teman akrab Ninda datang ke rumah Ninda menemui orangtua Ninda memberitahukan bahwa Sisca anaknya telah di beri Ninda uang sebesar Rp. 50 ribu. Tentu saja ibunya Sisca kaget kenapa Ninda memberi anaknya uang sebesar itu untuk ukuran SD di kota kecil, tentulah nilainya sangat besar. Ibunya Sisca mendapat informasi dari anaknya yang juga disampaikan kepada wali kelas Ninda dan Sisca. Jadi atas saran wali kelasnya tersebut, maka ibunya sisca mendatangi orangtua Ninda. Menceritakan dengan detil kebiasaan Ninda yang suka memberi teman-temannya uang. Guru atau wali kelasnya memiliki prasangka bahwa Ninda telah mencuri uang orangtuanya. Makanya ibunya Sisca mengembalikan uang tersebut dan memohon maaf.

Orangtuanya Ninda kaget sekali mendengar informasi yang disampaikan oleh Ibunya Sisca dan tuduhan guru tersebut terhadap anaknya. Awalnya sempat emosi, namun setelah beberapa hari, dengan bijak akhirnya ibunya Ninda menanyakan langsung berbicara dari hati ke hati kepada Ninda tentang kebiasaannya tersebut. Ibunya juga sekaligus memberi pandangan kepada Ninda agar tidak bersikap boros atau berlebih-lebihan dalam mempergunakan uang, karena itu juga dilarang agama. Apalagi Ninda lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, bukan anak orang kaya yang mesti pamer kekayaan. Akhirnya dengan linangan air mata, Ninda meminta maaf dan menceritakan alasan-alasannya kenapa Ia suka memberi teman-temannya uang. Dia kasihan melihat teman-temannya yang tidak bisa jajan seperti yang lainnya di kantin sekolah. Dia juga kasihan ketika teman-temannya tidak bisa membeli sesuatu yang mereka inginkan. Ninda mengatakan itu murni uang tabungannya yang tidak disetorkan ke wali kelas untuk ditabung. Ketika Ninda diberi uang untuk ditabung, sebagian disishkan untuk diberikan kepada teman-temannya, katanya ia ingin berbagi. Akhirnya Ninda dinasehati ibunya agar tidak berlebih-lebihan memberi uang pada teman-temannya. ada saat jika mau berbagi lebih dari itu ketika Ninda sudah bekerja.

Sejak kejadian itu guru atau wali kelasnya selalu memandang Ninda dengan pandangan curiga dan selalu berburuk sangka. Apalagi ketika Ninda memberi oleh-oleh untuk ibu gurunya tersebut waktu Ninda pulang berlibur dari rumah Neneknya. Coba, apa yang dikatakan gurunya, sungguh tuduhan yang sangat buruk dan menyakitkan, “ Ini hasil curian ya Ninda, Ibu tidak mau menerima barang hasil curian.” Ninda coba menjelaskan itu oleh-oleh yang ia bawa ketika berlibur di rumah neneknya, dengan linangan air mata. Itu juga diceritakan Ninda pada ibunya, agar ibunya menjelaskan kembali pada gurunya bahwa oleh-oleh itu bukan hasil curian. Pemberian itu hanya karena Ninda sayang sama ibu gurunya, walau ia pernah disakiti tapi Ninda tidak dendam.

Melihat kejadian seperti itu seharusnya sebagai seorang guru kita bisa lebih memahami permasalahan yang dihadapi anak didik. Jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan yang dilakukan siswa, harusnya berbicara dari hati kehati, menanyakan permasalahan yang sesungguhnya, kenapa anak didiknya bisa berbuat seperti itu. Jangan sampai sikap kita atau tindakan kita membuat anak didik terluka, trauma menahan rasa malu, karena merasa tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan gurunya maupun oranglain.

Seharusnya seorang guru tidak hanya melaksanakan kewajibannya semata-mata mengajar, tapi juga ia harus bisa mendidik siswanya dengan hati. Berkomunikasi yang baik dengan siswa, karena guru adalah panutan, dia tempat siswa memperoleh ilmu yang berguna bagi dirinya dan bangsanya. Guru harus bersikap ramah kepada siswanya, apalagi siswa SD yang masih perlu mendapat bimbingan yang banyak. Jadi sebagai guru haruslah memiliki kesabaran ekstra ketika menghadapi anak didiknya. Komunikasi sekali lagi komunikasi, ingat siswa itu titipan orangtuanya, juga titipan Allah agar guru dapat mendidiknya dengan baik. Guru juga akan dimintai pertanggungjawaban dari apa-apa yang telah dilakukannya. Belajarlah kepada para Pramugari, walau mereka lelah, tapi mereka tetap tersenyum kepada para penumpang. Jadi benar apa yang ditulis dalam salah satu media, bahwa “guru tidak seramah pramugari.” Wallahu A'lam.

Belajarlah pada apa yang telah dicontohkan manusia mulia, Rasulullah, Saw, betapa beliau sangat mencintai anak-anak. Kenapa tidak, karena anak kita juga dididik oleh guru yang lain, bagaimana sekiranya itu dialami oleh anak kita (guru) sendiri, tentu kita juga akan terluka. Itu jika kita para guru masih memiliki hati. Tapi kita yakin masih banyak guru-guru teladan di dunia ini yang mengajar dengan hati, mencintai anak didiknya seperti anak sendiri (seperti ibu Muslimah), karena guru tersebut menyadari tanggungjawab moralnya ke orangtua siswa dan atasannya (kepala Sekolah) yang utama pertanggungjawaban kepada Allah swt. Jadi sebagai seorang guru, jangan sampai menyakiti atau mendzolimi anak didik tersebut baik secara fisik maupun batin.


(Juni 2009, keprihatinan terhadap guru yang suka melakukan perbuatan bullying kepada anak didiknya)